Pemerintah Baru Sudah Jalan, Suara Kritis Masih Menghilang?

Pemerintah Baru Sudah Jalan, Suara Kritis Masih Menghilang?

Daftar Isi

Masa Uji Komitmen Pemerintah Baru

Seratus hari pertama pemerintahan adalah masa uji komitmen. Bagi pasangan Bupati dan Wakil Bupati Bangkalan, Lukman Hakim dan Fauzan Ja’far, inilah periode di mana janji tak bisa lagi hanya menjadi pidato kampanye, tapi ditagih dalam bentuk kebijakan nyata.

Namun di tengah geliat program dan langkah awal itu, justru nyaris tak terdengar suara dari mereka yang kerap disebut agen perubahan dan bagian dari expert community—mahasiswa Bangkalan.

Dua Langkah Awal: Apresiasi dan Catatan

Kebijakan UHC dan Administrasi Kependudukan

Sejak dilantik pada 20 Februari 2024 oleh Presiden Prabowo, duet Lukman–Fauzan telah menggenjot dua kebijakan strategis:

  • Pengetatan program Universal Health Coverage (UHC) melalui PERBUP: mensyaratkan e-KTP domisili Bangkalan minimal enam bulan sebelum pengobatan.
  • Inovasi layanan administrasi kependudukan: masyarakat bisa merekam dan mencetak dokumen langsung di tingkat kecamatan.

Dua langkah awal yang patut diapresiasi karena menunjukkan komitmen terhadap pelayanan dasar rakyat, meskipun keduanya sebenarnya adalah kewajiban dasar yang memang harus dipenuhi oleh setiap pemerintahan. Tapi pertanyaannya: cukupkah itu untuk menyimpulkan bahwa mereka sedang di jalur yang benar?

Janji politik bukan untuk dilupakan

Yang sering terlupakan adalah bahwa realisasi visi, misi, dan janji politik setiap pemimpin wajib dikawal ketat oleh masyarakatnya sendiri. Visi dan misi adalah alat retoris saat kampanye—disusun oleh kandidat dan tim suksesnya untuk menggaet simpati rakyat. Namun setelah mereka terpilih, masyarakat dan seluruh stakeholder punya kewajiban untuk mengkritisi: apakah tawaran politik itu masih relevan dengan kondisi riil saat ini? Apakah janji-janji tersebut feasible untuk direalisasikan di tengah tantangan lokal maupun nasional?

Lukman–Fauzan sendiri sempat menyampaikan beberapa komitmen prioritas untuk 100 hari kerja, seperti: respon cepat atas keluhan masyarakat, pemerataan infrastruktur dan ketersediaan air bersih, serta peningkatan kualitas layanan publik. Ini semua bukan janji kecil. Maka peran masyarakat, utamanya kelompok intelektual, terlebih mahasiswa asal Bangkalan, tidak boleh hanya menjadi penonton dari kejauhan.

Mahasiswa harus lebih dari sekadar penonton

Mahasiswa adalah bagian dari expert community, kelompok terdidik yang punya kapasitas intelektual untuk menganalisis, memberi masukan, bahkan menggugat ketika pemerintah mulai melenceng dari komitmen awalnya. Ketika Bupati menyatakan akan “menjemput bola dari masyarakat” untuk memenuhi kebutuhan publik, mahasiswa dan para ahli seharusnya menjadi bagian dari bola itu untuk mengisi ruang partisipasi kritis, bukan hanya diam dan menunggu panggilan.

Sayangnya, diam itu kini menjadi kebiasaan yang mengkhawatirkan. Lebih miris lagi, saat ada yang bersuara, kadang justru terjebak dalam aksi yang lebih simbolik ketimbang substantif. Demonstrasi misalnya, sah secara konstitusional. Tapi apa gunanya turun ke jalan hanya untuk menagih janji dan parahnya tanpa membawa kajian atau data, tanpa strategi, hanya membawa teriakan dan spanduk. Bangkalan tak butuh orasi kosong, ia butuh narasi. Butuh tawaran. Kalau demonstrasi hanya menjadi agenda tahunan untuk eksistensi organisasi, atau lebih buruk lagi, justru menguatkan stereotip yang sempat dilontarkan Presiden tentang mahasiswa yang ‘disewa’. Kita sedang memperkecil makna intelektual dari gerakan mahasiswa itu sendiri. Silakan turun ke jalan, tapi jangan lupa bawa otak, kajian dan strategi.

Kritik harus efisien, bukan boros energi

Lebih dari itu, demonstrasi meskipun sah dan penting di momen tertentu memakan banyak energi: biaya operasional, waktu yang tersita, bahkan kerugian produktivitas dari kedua belah pihak, baik peserta aksi maupun instansi yang didatangi. Mengapa tidak mengalihkan energi itu ke metode yang lebih presisi? Tulisan opini, kajian strategis, atau forum terbuka berbasis data jauh lebih hemat energi, tapi berdampak panjang. Kritik cerdas lebih menohok daripada suara keras.

Bukan hanya mahasiswa—expert community lainnya juga harus bicara

Tentu, mahasiswa bukan satu-satunya bagian dari expert community. Di Bangkalan, banyak aktor lain yang seharusnya juga menjadi mitra kritis pemerintah: akademisi, peneliti lokal, tokoh masyarakat, hingga profesional muda. Mereka punya kapasitas untuk memberi arah, mengawasi, bahkan mempengaruhi arah kebijakan. Sayangnya, ruang ini pun masih sunyi. Forum akademik jarang dijadikan ruang refleksi kebijakan. Kajian lokal tak muncul di media. Jika kita ingin Bangkalan maju, maka suaranya tak boleh hanya datang dari ruang birokrasi. Ia harus tumbuh dari kampus, dari ruang diskusi komunitas, dan dari nalar-nalar kritis masyarakat.

Pemerintah pun mulai jenuh dengan seremonial

Ironisnya, di sisi lain, Bupati Bangkalan justru mulai lelah menghadiri kegiatan seremonial yang katanya hanya formalitas. Ia bahkan mengaku, dalam beberapa forum koordinasi antar-instansi, ia tidak merasa mendapatkan sesuatu yang akan berarti untuk rakyat Bangkalan. Ini menjadi sinyal bahwa pemerintah pun mulai jenuh dengan keramaian yang hanya kosmetik.

Diam atau bergerak?

Lalu bagaimana dengan mahasiswa? Apakah kita ingin terjebak dalam pola yang sama yakni berisik saat kampanye, diam saat realisasi? Atau justru ikut membangun pola baru, berisik dengan isi, dengan kajian dan solusi

Kritik tak harus turun ke jalan, tapi harus turun dari pemikiran

Kritik dan saran yang diberikan bukan sekadar reaksi akan tetapi bagian dari pengkajian sistematis terhadap janji politik. Mahasiswa dapat menggunakan berbagai kanal, dari opini media di media lokal juga nasional hingga memanfaatkan sosial media, sebagai sarana menyampaikan aspirasi dan analisis. Di era digital, akses ini tidak lagi menjadi persoalan teknis yang dibutuhkan hanyalah kesadaran dan keberanian.

Menulis opini atas nama pribadi juga akan memberikan nilai tambah: ia menjadi bagian dari personal branding intelektual yang melekat secara permanen di dunia digital. Suara akan didengar dan tercatat juga terbaca secara lokal juga nasional. Sekaligus menjadi bukti bahwa mahasiswa benar-benar berpikir dan peduli terhadap daerahnya.

Penutup: Bangkalan butuh suara, bukan hanya acara

Seratus hari pertama hampir berlalu. Pemerintah sudah mulai bergerak, bukan omon–omon belaka. Pertanyaannya: apakah expert community Bangkalan hanya akan diam, atau mulai berpartisipasi aktif? Apakah Pemerintah akan mengabaikan mahasiswa Bangkalan?

Diam adalah kemunduran. Bangkalan tak sekadar butuh suara, namun butuh kehadiran expert community yang berpikir tajam, mengkaji dengan jernih, dan bertindak nyata.

comments powered by Disqus

Artikel Terkait

Membuka Stand IMABA di Kampus 3 UIN

Membuka Stand IMABA di Kampus 3 UIN

Untuk memperkenalkan organisasi kepada mahasiswa baru, Ikatan Mahasiswa Bangkalan Distrik UIN Maulana Malik Ibrahim Malang mengadakan kegiatan buka stand di Kampus 3 UINMA. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai IMABA, visi, misi, serta berbagai program menarik yang dapat diikuti oleh mahasiswa baru.

Baca Selengkapnya
Akan Datang - Seminar Nasional Pendidikan

Akan Datang - Seminar Nasional Pendidikan

Di era digital yang serba cepat, dunia pendidikan menghadapi berbagai perubahan yang menuntut inovasi dan adaptasi. Untuk menjawab tantangan ini, Ikatan Mahasiswa Bangkalan (IMABA) Malang Raya menghadirkan Seminar Nasional Pendidikan 2025, sebuah forum inspiratif yang akan mengupas berbagai dinamika pendidikan masa kini.

Baca Selengkapnya
Distrik UINMA Mengadakan Acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Distrik UINMA Mengadakan Acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

Dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, Ikatan Mahasiswa Bangkalan Distrik UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menggelar acara Maulid Nabi. Acara ini bertujuan untuk meneladani akhlak serta perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam.

Baca Selengkapnya